Nabi Muhammad saw, shahabat, dan ulama'-ulama salaf pernah berhaji, bahkan naik haji berulang-ulang, namun beliau tidak mencantumkan gelar H di depan namanya. Kita lihat tak satupun para sahabat nabi bergelar "H" di depan namanya. Tak ada itu H. Abu Bakr As-Siddiq, H. Umar bin
Khattab, bukan? Zaman Walisongo pun, nggak ada gelar haji
karena tak pernah tersebut dalam sejarah misalnya H. Maulana Malik
Ibrahim, H. Ja’far Shodiq (Sunan Kudus) atau H. Syekh Siti Jenar.
Kenyataannya mereka pernah beribadah haji. Lalu, sejak kapan gelar haji ada di
Indonesia?
Dahulu Pemerintah Hindia Belanda tidak ingin
penduduk pribumi tersulut semangat gerakan pemberontakan, terutama pribumi yang
menunaikan ibadah haji ke Tanah Suci. Hal tersebut digambarkan dalam buku Politik
Hindia Belanda Terhadap Islam (LP3ES, 1985) karya Prof. Dr. Aqib Suminto.
Mereka yang pergi melaksanakan ibadah haji akan bertahan di Arab, paling
sedikit 3 bulan. Kesempatan itu digunakan oleh pribumi untuk belajar agama dari
ulama-ulama termashyur di Arab. Dengan ilmu yang banyak dan semangat
nasionalisme yang membakar, sekembali dari tanah Arab, para jemaah haji bisa
tersulut melakukan gerakan militan untuk menantang penjajah Belanda.
Pemerintah Hindia Belanda kemudian menjalankan
politik Islam, yakni kebijakan pemerintah Hindia Belanda dalam mengelola masalah-masalah
Islam di Indonesia pada masa kolonial Belanda. Tak heran, sejak 1911,
pemerintah Hindia Belanda mengkarantina penduduk pribumi yang ingin naik haji
maupun setelah pulang haji. Karantinanya pun tidak tanggung-tanggung, di Pulau
Cipir dan Pulau Onrust.
Melalui karantina, Pemerintah Hindia-Belanda bisa
dengan mudah mengawasi para jemaah haji yang berasal dari Pulau Jawa. Untuk
karantina jemaah haji wilayah Sumatera dan Indonesia Timur terpisah, tidak di
Pulau Cipir dan Pulau Onrust. Dan ternyata gelar haji itu diberikan oleh
Pemerintah Hindia Belanda untuk mencap warga pribumi yang pergi ke Mekkah.
Gelar ini bukan gelar yang membanggakan, tetatpi justru salah satu taktik
Belanda agar mudah mengindentifikasi pribumi yang coba memberontak. Mereka mencatat
dengan detil nama-nama jemaah haji, baik nama maupun asal wilayah. Begitu
terjadi pemberontakan di wilayah tersebut, Belanda dengan mudah menemukan warga
pribumi, karena di depan nama mereka sudah tercantum gelar haji.
Itulah kenapa gelar haji cuma ada di Indonesia,
jika ada negara yang penduduknya mendapat gelar haji di depan namanya sepulang
dari Mekkah, seperti Malaysia, tentu baru beberapa tahun ini saja. Sementara
gelar haji yang ada di Indonesia
sudah ada sejak zaman pemerintahan Hindia Belanda. Sampai kini, gelar haji
masih tetap digunakan oleh penduduk Indonesia. Menariknya, meski jumlah
haji di Indonesia sangat
banyak, namun haji-haji di Indonesia tidak otomatis memperjuangkan perintah
Allah SWT untuk menjadikan Indonesia
jauh lebih baik.
~oOo~
Disadur dari buku Berhala-berhala Haji (Cahaya Edukom Indonesia, 2012) yang ditulis oleh Puguh. P. S. Admaja halaman 19-21.
0 komentar:
Posting Komentar