Mungkin ada pertanyaan dibenak kita, kenapa para Imam
Mazhab 4 yaitu, Imam Malik, Imam Hanafi, Imam Syafi'i, Imam Hambali -rahimahumullah- tidak memakai hadits Sahih Bukhari dan Sahih Muslim? bukankah itu adalah 2 kitab hadits tershohih?
Untuk tahu jawabannya, kita harus paham sejarah. Paham biografi tokoh-tokoh tsb.
Untuk tahu jawabannya, kita harus paham sejarah. Paham biografi tokoh-tokoh tsb.
Kita tahu bahwa Imam Malik lahir tahun 93 Hijriyah. Sementara Imam Bukhari lahir
tahun 196 H dan Imam Muslim lahir tahun 204 H. Artinya Imam Malik sudah ada 103
tahun sebelum Imam Bukhari lahir. Paham?
Apakah hadits para Imam Mazhab lebih lemah dari Sahih Bukhari
dan Sahih Muslim?
Justru sebaliknya. Lebih kuat karena mereka lebih awal lahir
daripada Imam Hadits tsb.
Rasulullah SAW bersabda,
خَيْرُ النَّاسِ قَرْنِيْ ثُمَّ الَّذِيْنَ يَلُوْنَهُمْ
ثُمَّ الَّذِيْنَ يَلُوْنَهُمْ
“Sebaik-baik manusia adalah pada kurunku (Sahabat), kemudian yang sesudahnya
(Tabi’in), kemudian yang sesudahnya (Tabi’ut Tabi’in).”[HR. Al-Bukhari no. 2652
dan Muslim no. 2533 ]
Siapakah pengikut ulama SALAF sebenarnya?
1) Imam Hanafi lahir:80 hijrah
2) Imam Maliki lahir: 93 hijrah
3) Imam Syafie lahir:150 hijrah
4) Imam Hanbali lahir:164 hijrah
Jadi kalau ada manusia akhir zaman yang berlagak jadi ahli
hadits dgn menghakimi pendapat Imam Mazhab dgn menggunakan Sahih Bukhari dan Sahih Muslim,
ya jelas keblinger...
Biar kata misalnya menurut Sahih Bukhari misalnya sholat Nabi
begini2 dan beda dgn sholat Imam Mazhab, namun para Imam Mazhab seperti Imam
Malik melihat langsung cara sholat puluhan ribu anak2 sahabat Nabi di Madinah.
Anak2 sahabat ini belajar langsung ke Sahabat Nabi yang jadi bapak mereka. Jadi
lebih kuat ketimbang 2-3 hadits yang diriwayatkan Imam Bukhari 100 tahun
kemudian.
Imam Bukhari dan Imam Muslim pun meskipun pakar hadits
paling top, beliau berdua tetap bermazhab. yaitu mengikuti mazhab Imam Syafi'ie.
Penelitian Hadits Dilakukan Oleh Empat Imam Mazhab
Kenapa?
Pertama, karena mereka lahir jauh sebelum Bukhari (194-265 H)
dan Muslim (204-261 H) dilahirkan. Tidak mungkin mereka mengandalkan keshahihan
hadits dari generasi berikutnya. Yang lebih logis adalah orang yang ada pada
generasi berikutnya justru mengandalkan hasil penellitian hadits pada generasi
sebelumnya.
Kedua, karena keempat imam mazhab itu sendiri justru merupakan
pakar hadits paling top di zamannya. Tidak ada ahli hadits yang lebih baik dari
mereka di zamannya. Apa urusannya pakar hadits paling top harus mengambil
hadits dari kalangan yang lebih pantas menjadi murid atau cucu muridnya?
Ketiga, karena keempat imam mazhab itu hidup di zaman yang
secara zaman lebih dekat ke Rasulullah SAW dari pada masa Imam Bukhari atau Imam Muslim
sendiri. Maka kualitas periwayatan hadits mereka dipastikan lebih kuat dan
lebih terjamin kemurniannya ketimbang kualitas di masa-masa berikutnya.
Kalau dalam bidang teknologi, memang semakin maju zamannya ke
depan, ilmunya semakin lengkap dan sempurna. Karena penemuan yang dulu kemudian
disempurnakan dengan penemuan terbaru. Sebaliknya, dalam bidang penelitian
hadits, semakin mundur dan mendekati sumber aslinya, akan semakin baik.
Dan semakin menjauhi zaman aslinya tentu akan semakin lemah
hasil penelitiannya. Tidak akan ada lagi penemuan baru macam teknologi komputer
dalam ilmu hadits. Karena yang dilakukan adalah penelitian keshahihan hadits
dan bukan kesempurnaan produk pabrik.
Keempat, justru Bukhari dan Muslim sendiri malah bermazhab
kepada para imam mazhab yang empat itu. Banyak kajian ilmiyah yang memastikan
bahwa Bukhari sendiri dalam fiqihnya bermazhab Syafi'i.
Memang ada sementara tokoh saking antipatinya dengan mazhab
fiqih, lalu mengarang-ngarang sebuah nama mazhab imaginer baru yang tidak
pernah ada bukti kongkritnya dalam sejarah. Mereka sebut mazhab 'ahli hadits'.
Dari namanya saja sudah bermasalah. Dikesankan seolah-olah yang tidak bermazhab
ahli hadits berarti tidak menggunakan hadits dalam mazhabnya. Padahal maksud mazhab
ahli hadits itu adalah mazhab para ulama peneliti hadits untuk mengetahui
keshahihan hadits dan bukan dalam menarik kesimpulan hukum (istimbath al hukmi).
Kalaulah benar pernah ada mazhab ahli hadits yang berfungsi
sebagai metodologi istimbath hukum, lalu mana ushul fiqihnya? Mana
kaidah-kaidah yang digunakan dalam mengistimbath hukum? Apakah cuma sekedar
menggunakan sistem gugur, bila ada dua hadits, yang satu kalah shahih dengan
yang lain, maka yang kalah dibuang?
Lalu bagimana kalau ada hadits sama-sama dishahihkan oleh
Bukhari dan Muslim, tetapi isinya bertentangan dan bertabrakan tidak bisa
dipertemukan?
Al-Imam Asy-syafi'i sejak 13 abad yang lalu sudah bicara panjang
lebar tentang masalah kalau ada beberapa hadits sama-sama shahihnya tetapi
matannya saling bertentangan, apa yang harus kita lakukan? Beliau sudah menulis
kaidah itu dalam kitabnya : Ikhtilaful Hadits (pertentangan hadits) yang fenomenal itu.
Kalau baru mengetahui suatu hadits itu shahih, sebenarnya
pekerjaan melakukan istimbath hukum belum selesai. Meneliti keshahihan hadits
baru langkah pertama dari 20 atau 30 langkah dalam proses istimbath
hukum, yang hanya bisa dilakukan oleh para mujtahid.
Sayangnya banyak sekali orang awam yang tersesat mendapatkan
informasi yang sengaja disesatkan oleh kalangan tertentu yang punya rasa
dengki. Seolah-olah imam mazhab yang empat itu kerjaannya cuma merusak agama
dengan mengarang-ngarang agama dan menambah-nambahinya seenak udelnya. Sejelek
itu para perusak agama melancarkan fitnah keji kepada para ulama.
Padahal keempat imam mazhab itu di zamannya justru merupakan
para ulama peneliti hadits (muhaddits). Sebab syarat untuk boleh berijtihad
adalah harus menguasai hadits dan mampu meneliti sendiri kualitas keshahihan
haditsnya. Imam Malik itu penyusun Al-Muwaththa' yang tiga khalifah memintanya
agar dijadikan kitab standar negara. Bahkan Imam Ahmad bin Hanbal sendiri lebih
dikenal sebagai ahli hadits ketimbang sebagai mujtahid dalam ilmu fiqih.
Entah orientalis mana yang datang menyesatkan agama, tiba-tiba
datang generasi yang awam agama dan dicuci otaknya, dengan mudahnya dan teramat
lancang menuduh keempat imam mazhab itu sebagai orang-orang bodoh dengan ilmu
hadits. Hadits shahih versi Bukhari dibanding-bandingkan secara zahir dengan
pendapat keempat mazhab, seolah-olah pendapat mazhab itu buatan manusia dan
hadits shahih versi Bukhari itu datang dari Allah yang sudah pasti benar.
Orang-orang awam yang kurang ilmu itu dengan seenaknya
menyelewengkan ungkapan para imam mazhab itu dari maksud aslinya : "Bila
suatu hadits itu shahih, maka itulah mazhabku". Kesannya, para imam mazhab
itu bodoh dengan keshahihan hadits, lalu menggantungkan mazhabnya kepada
orang-orang yang hidup dua tiga abad sesudahnya.
Padahal maksudnya bukan begitu. Para
ulama mazhab itu menolak suatu pendapat, karena menurut mereka hadits yang
mendasarinya itu tidak shahih. Maka pendapat itu mereka tolak sambil
berkata,"Kalau hadits itu shahih, pasti saya pun akan menerima pendapat
itu. Tetapi berhubung hadits itu tidak shahih menurut saya, maka saya tidak
menerima pendapat itu". Yang bicara bahwa hadits itu tidak shahih adalah
profesor ahli hadits, yaitu para imam mazhab sendiri. Maka wajar kalau mereka
menolaknya.
Tetapi lihat pengelabuhan dan penyesatan dilakukan secara
terstruktur, sistematis dan masif. Digambarkan seolah-olah seorang Imam
Asy-Syafi'i itu tokoh idiot yang tidak mampu melakukan penelitian hadits
sendiri, lalu kebingungan dan menyerah menutup mukanya sambil bilang,"Saya
punya mazhab tapi saya tidak tahu haditsnya shahih apa tidak, jadi kita tunggu
saja nanti kalau-kalau ada orang yang ahli dalam bidang hadits. Nah, mazhab
saya terserah kepada ahli hadits itu nanti ya".
Dalam hayalan mereka, para imam mazhab berubah jadi badut pandir
yang tolol dan bloon. Bisanya bikin mazhab tapi tidak tahu hadits shahih.
Sekedar meneliti hadits apakah shahih atau tidak, mereka tidak tahu. Dan lebih
pintar orang di zaman kita sekarang, cukup masuk perpustakaan dan tiba-tiba
bisa mengalahkan imam mazhab.
Cara penyesatan dan merusak Islam dari dalam degan modus seperti
ini ternyata nyaris berhasil. Coba perhatikan persepsi orang-orang awam di
tengah kita. Rata-rata mereka benci dengan keempat imam mazhab, karena
dikesankan sebagai orang bodoh dalam hadits dan kerjaanya cuma menambah-nambahi
agama.
Parahnya, setiap ada tradisi dan budaya yang sesat masuk ke
dalam tubuh umat Islam, seperti percaya dukun, tahayyul, khurafat, jimat, dan
berbagai aqidah sesat, sering diidentikkan dengan ajaran mazhab. Seolah mazhab
fiqih itu gudangnya kesesatan dan haram kita bertaqlid kepada ulama mazhab.
Sebaliknya, orang yang harus diikuti adalah para ahli hadits,
karena mereka itulah yang menjamin keshahihan hadits.
Bukhari dan Muslim Bukan Penentu Satu-satunya Keshahihan Hadits
Ini perlu dicatat karena penting sekali. Shahih tidaknya suatu
hadits, bukan ditentukan oleh Bukhari dan Muslim saja. Jauh sebelum keduanya
dilahirkan ke dunia, sudah ada jutaan ahli ahli hadits yang menjalankan proses
ijtihad dalam menetapkan keshahihan hadits.
Dan boleh jadi kualitasnya jauh lebih baik. Kualitas
keshahihannya jauh lebih murni. Hal itu karena jarak waktu dengan sumber aslinya,
yaitu Rasulullah SAW, lebih dekat.
Hadits di zaman Imam Bukhari sudah cukup panjang jalur
periwayatannya. Untuk satu hadits yang sama, jalur periwayatan Bukhari bisa
sampai enam atau tujuh level perawi yang bersambung-sambung. Sementara jalur
hadits Imam Malik cuma melewati tiga level perawi. Secara logika sederhana,
kualitas keasliannya tentu berbeda antara hadits yang jalurnya tujuh level
dengan yang tiga level. Lebih murni dan asli yang tiga level tentunya.
Bayangkan kalau Imam Bukhari hidup hari ini di abad 15 hijriyah,
haditsnya bisa melewati 40-50 level perawi. Secara nalar kita bisa dengan mudah
menebak bahwa kualitas periwayatannya jauh lebih rendah. Beda tiga sampai empat
level saja sudah besar pengaruhnya, apalagi beda 50 level, tentu jauh lebih
rendah.
Apalagi yang jadi ahli haditsnya bukan selevel Bukhari, tetapi
sekedar mengaku-ngaku saja. Tentu kualitas haditsnya jauh lebih parah lagi.
Bukhari itu melakukan perjalanan panjang dan lama ke hampir seluruh dunia
Islam. Tujuannya untuk bertemu langsung para perawi hadits yang masih tersisa.
Maksudnya untuk mengetahui langsung seperti apa kualitas hafalan dan kualitas
keislaman mereka.
Menurunnya Kualitas Periwayatan Seiring Dengan Semakin Jauhnya
Jarak
Semakin jauh jarak waktu antara sumber hadits dengan zaman
penelitiannya, maka kualitasnya akan semakin menurun. Sebab jalur
periwayatannya akan menjadi semakin panjang. Jumlah perawi yang harus diteliti
jelas lebih banyak lagi.
Seandainya seorang dengan kualitas Imam Bukhari hidup di abad
kelima, tentu nilai kualitas penelitiannya akan jauh lebih rendah dibandingkan
beliau hidup di abad ketiga. Dan bila beliau hidup di abad kelima belas, sudah
bisa dipastikan kualitas penelitiannya akan jauh lebih rendah, bahkan beliau
malah tidak bisa melakukan apa-apa.
Karena tidak mugkin lagi melakukan penelitian langsung bertemu
muka dengan para perawi. Maka keistimewaan hadits Bukhari akan anjlog total.
Untungnya beliau hidup di zaman yang tepat, yaitu di masa para perawi masih
hidup dan bisa diwawancarai langsung.
Maka siapapun orangnya, kalau baru hari gini melakukan
penelitian tentang para perawi, kelasnya rendah sekali. Semua hasil penelitian
semata-mata mengandalkan data sekunder, yaitu hanya sekedar menelliti di
tingkat literatur dalam perpustakaan. Sebuah pekerjaan yang sangat mudah,
karena semua mahasiswa fakultas hadits semester pertama pun bisa
mengerjakannya.
Dosen hadits bisa dengan mudah mengajarkan teknik takhrij hadits
kepada anak-anak muda mahasiswa usia di bawah 20 tahunan, lalu menugaskan
masing-masing melakukan takhrij untuk dapat nilai. Bahkan pekerjaan seperti itu
bisa dilakukan oleh orang yang sama sekali tidak pernah belajar ilmu hadits di
bangku kuliah. Cukup dengan otodidak, sedikit diberi pelatihan singkat, asalkan
tekun tiap hari nongkrong di perpustakaan, bisa melakukan penelitian
kelas-kelas rendahan. Siapapun bisa melakukannya dengan mudah.
Apalagi zaman sekarang sudah ada ratusan software hadits. Cukup
masukkan keyword saja, maka semua data bisa keluar dalam hitungan detik saja.
Kalau baru sampai disitu kok tiba-tiba merasa lebih tinggi
derajatnya dari Bukhari dan Muslim, rasanya ada yang salah dalam logika.
Jangankan merasa lebih tinggi, merasa selevel saja pun sudah tidak sopan.
Maka kita tidak bisa menyamakan kualitas keshahihan hadits yang
diteliti di abad kelimabelas ini, dengan kualitas penelitian hadits yang
dilakukan di abad ketiga zaman Bukhari dan Muslim. Nilainya jauh berbeda. Dan
kualitas penelitian hadits di abad pertama dan kedua tentu jauh lebih baik
lagi.
Anehnya, jarang sekali umat Islam yang bisa membedakan, mana
kualitas penelitian kelas tinggi dan mana kelas rendahan. Sebab sekarang ini
kita hidup di zaman serba awam dan serba tidak tahu.
Kadang-kadang umat Islam terkecoh dengan mudah dengan penampilan
fisik. Asalkan ada orang pintar ceramah, kebetulan jenggotnya panjang, bajunya
gamis ala arab, pakai surban melilit kepala, tangannya sibuk memutar-mutar biji
tasbih, suaranya diberat-beratkan, langsung kita anggap dia adalah ulama yang
tahu segala-galanya. Padahal satu pun hadits tidak dihafalnya.
Lebih lucu lagi, kalau ada tokoh yang bisa menyalah-nyalahkan
ulama betulan, melancarkan kritik ini dan itu, bahkan mencaci maki dengan
kata-kata kasar, maka oleh pendukungnya yang sama-sama awam dijadikan seolah-olah
dia adalah utusan Allah yang turun langsung dari langit, menjadi anugerah bagi
alam semesta.
Seolah-olah kebenaran milik dia semata. Orang lain yang tidak
setuju dengan seleranya dianggap bodoh semua. Ulama yang tidak sejalan
dengannya akan dihujani cacian makian dan sumpah serapah.
Semoga Allah SWT mengampuni kita semua. Amiin ya rabbal alamin
Wallahu a'lam bishshawab, wassalamu 'alaikum warahmatullahi
wabarakatuh,
Ahmad Sarwat, Lc. , MA
0 komentar:
Posting Komentar