SATU persatu santri keluar dari rumah Kiai Suaída, setelah
sejak Subuh mengaji. Sebelumnya mereka mengaji Alquran dan kitab-kitab salaf
atau kitab kuning orang menyebutnya.
Suasana semakin riuh
ketika menengok ke asrama santri. Walau jumlah kamar mandi sudah memadai dan
ada beberapa santri yang mandi sebelum subuh, tetapi mereka masih tetap berebut
kamar mandi. Menurut Kiai Sua’da, Pondok Pesantren Miftahul Huda Kroya memiliki
sejarah panjang, sama seperti pesantren kebanyakan.
Bermula dari keprihatinan
KH M Minhajul Adzkiya yang merupakan ayah dari KH Su’ada, melihat kondisi
masyarakat di sekitar Kroya yang masih kekurangan sentuhan nilai-nilai Islami.
Karena itu pada 1951/1962, Kiai Minhajul Adzkiya bersama KH Munawwir Alhafidz
mendirikan Pondok Pesantren Miftahul Huda Kroya, sebagai media untuk berdakwah
dan mengkader santri, agar dapat mensyiarkan agama Islam.
Meski secara resmi
didirikan pada 1951, tetapi cikal bakal pondok pesantren itu sudah ada sejak
sebelum kemerdekaan.
Sebelum kemerdekaan,
KH Minhajul Adzkiya sudah terlebih dahulu mendirikan pondok pesantren di
sebelah selatan stasiun Kroya. Pondok dengan dua asrama tersebut, terdiri atas
beberapa kamar (gothakan) dan sebuah mushala kecil di sebelahnya.
Jumlah santrinya sudah
mencapai sekitar 200 orang. Tetapi mengenai waktu pendiriannya, tidak ditemukan
data yang pasti, selain keterangan bahwa pondok itu didirikan sebelum masa
kemerdekaan.
Saat terjadi aksi
militer Belanda II (Clash II), dia bersama beberapa warga dan santri mengungsi
ke Ngasinan, di Kebasen Banyumas, sebelum akhirnya pindah lagi ke Rawaseser
(sebuah Dusun di Desa Mujur, Kecamatan Kroya).
Dalam keadaan tidak
menentu, dia tetap istiqamah dalam proses belajar mengajar. Pasca Clash II dan
suasana sudah aman, kiai kembali ke Kroya. Tetapi ternyata tempat tinggalnya,
berikut asrama dan mushala sudah rata dengan tanah. KHM Adzkiya merupakan sosok
yang tegar, tidak mudah patah semangat.
Ketika mengetahui
tempat tinggal dan asrama santri sudah rata dengan tanah, dia pindah ke Kauman
Kroya. Di sini, kiai sekaligus memimpin Kantor Urusan Agama (KUA) Kecamatan
Kroya.
Kiai Adzkiya sempat
memberikan pengajian kepada orang-orang di sekitar Kauman, sampai akhirnya
diangkat untuk memimpin Pengadilan Agama di Kabupaten Wonosobo. Tugas negara
itu mengharuskannya pindah ke Wonosobo sampai pensiun 1962.
KHM Adzkiya
merupakan salah satu pendiri NU di kabupaten Cilacap, yang secara resmi
didirikan di Kroya pada 1936. Beliau begitu tegas dan berani.
Setiap ada serangan
yang dilakukan oleh Islam garis keras kepada NU, atau dari pihak lain, dia
tidak segan mengajak berdebat siapa saja, guna meluruskan kesalahpahaman yang
sering dilontarkan kepada NU.
Maksud dari beliau
adalah baik, yaitu jangan sampai Islam yang rahmatan lil ëalamiin, dinodai oleh
klaim-klaim sebagian golongan Islam, sebagai yang paling benar. Prinsip ini
dibawa sampai dengan akhir hayatnya, pada 1981.
Pendidikan Formal
Sepeninggal kiai
Adzkiya, pondok pesantren Miftahul Huda diasuh secara berturut-turut oleh KH
Tarmidzi Affandi, KH Zainuddin, KH. Hamam Adzkiya, KH Suíada, dan Hj Masíadah
Machali untuk pondok pesantren putrinya.
Saat ini, pondok
pesantren Miftahul Huda dan pondok pesantren putri Al-Hidayah mendidik sekitar
350-an santri dan diasuh oleh putra KHM Minhajul Adzkiya yang egaliter, tetapi
tetap tegas, yaitu KH Hamam Adzkiya, KH Suíada Adzkiya, dan Hj Masíadah
Machali, juga KH. Mudatsir Mughni yang, dibantu oleh para pengurus dan dewan
asatidz.
Untuk selanjutnya jika disebut pondok pesantren Miftahul Huda, yang
dimaksudkan adalah juga termasuk pondok pesantren putri Al-Hidayah.
Lebih kurang 75%
santri mengikuti pendidikan formal baik SD, SLTP, dan SMA/SMK yang
diselenggarakan oleh Yayasan Miftahul Huda Kroya dan di luar yayasan, seperti
SMP Negeri, SMA Negeri, MAN, dan lain-lain. Sebanyak 25% lainnya, khusus
mendalami kajian ilmu-ilmu keagamaan masuk di dalam Halaqah Diniyah, yang
terdiri atas kelas persiapan (Iídad), kelas satu, dua, dan kelas tiga.
Konsep
pengelolaannya lebih diorientasikan pada peningkatan dan pengembangan secara
kualitatif, dengan tanpa mengabaikan yang kuantitatif. Semua santri
diperlakukan sama. Qanun pesantren berlaku untuk semua santri tanpa kecuali.
Kurikulum pesantren
disusun berdasarkan kebutuhan dan tingkat kemampuan santri. Tetapi pesantren
memberikan kebebasan kepada seluruh santri, untuk bereksplorasi sendiri, dengan
memanfaatkan perpustakaan yang tersedia. Untuk mengikuti perkembangan situasi
sosial politik budaya, dan lain-lain, pesantren berlangganan Suara Merdeka.
Pondok Pesantren ini
mengalami perkembangan signifikan, hal ini tidak terlepas dari dukungan besar,
yang diberikan oleh para pengurus pondok, dewan asatidz, dan masyarakat sekitar
pesantren.
Hubungan ini semakin
baik, yang dibuktikan dengan program beasiswa bagi santri berprestasi yang
kurang mampu dari sisi ekonomi. Sampai saat ini tercatat ada sekitar 75 santri
yang mengikuti program ini, dan bersekolah di SMA Islam Buana Kroya, program
intensif. (Agus Fathudin Yusuf)
sumber : suara merdeka online
0 komentar:
Posting Komentar