وهْوَ بِسَبْق حَائِزٌ تَفْضِيْلَا #
مُسْتَوْجِبٌ ثَنَائِيَ اٌلجَمِيْلَا
وَاللهُ يَقْضِي بِهِبَاتِ وَافِرَة # لِي
وَلَهُ فِي دَرَجَاتِ الٌاَخِرَة
ibnu mu’thi memperoleh kedudukan utama, karena beliaulah yang
memprakarsainya, dan sudah sepantasnyalah pujian baikku untuknya.
Semoga Allah memastikan pahala yang berlimpah bagiku dan
baginya, yaitu kedudukan yang tinggi di akhirat nanti.
Ma’na tafsiri : Kelompok yang besar itu hendaklah mempunyai keutamaan /
keistimewaan (تَفْضِيْلَا)
dan pengabulan (مُسْتَوْجِبٌ)
yaitu memberikan haq terhadap orang-orang yang memujinya dengan baik (ثَنَائِيَ
الجَمِيْلَا).
(وَاللهُ يَقْضِي)
Allah memberikan aku dan mereka derajat, (بِهِبَاتٍ
وَافِرَة) yaitu berupa ni’mat yang sempurna di akhirat.
كَلَامُنَا لَفْظٌ مُفِيْدٌ كَاسْتَقِمْ
# وَاسْمٌ
وَفِعْلٌ ثُمَّ حَرْفٌ اْلكَلِمْ
kalam menurut istilah para ahli nahwu (nahwiyyin) ialah
lafadl yang bermakna lengkap seperti lafadl “اسْتَقِمْ”
(luruslah kamu !!). Sedangkan isim, fi’il
dan huruf itu kalim namanya.
Ma’na tafsiri : Bait ini memberikan penjelasan tentang perintah kepada kita
agar selalu untuk beristiqomah (اسْتَقِمْ).
وَكُلُّ حَرْفٍ مُسْتَحِقٌّ
لِلْبِنَا
#
وَاْلأَصْلُ فِي اْلمَبْنِيِّ أَن
يُسَكَّنَا
semua huruf
berhak untuk di mabnikan, dan bentuk asal mabni adalah sukun.
Ma’na tafsiri : Setiap sesuatu (كُلُّ
حَرْفِ) itu
butuh kepada suatu pembinaan (اَلْبِنَا) dan
yang paling baik dalam membina adalah ketenangan (اَنْ يُسَكَّنَا).
فَارْفَعْ بِضَمٍّ وَانْصِبَنْ فَتْحًا
وَجُرْ #
كَسْرٌ كَذِ كْرُاللهِ عَبْدَهُ يَسُرْ
وَاجْزِمْ بِتَسْكِيْنٍ وَغَيْرُ
مَاذُكِرْ #
يَنُوْبُ نَحْوُ جَاءَخُوْ بَنِى نَمِرْ
rofa’kanlah dengan harokat dlommah, dan nasobkanlah dengan harokat
fathah, serta jerkanlah dengan harokat kasroh seperti dalam lafadz ذِكْرُاللهِ
عَبْدَهُ يَسُرْ) )
jazmkanlah dengan sukun, dan selain yang telah disebutkan ada
penggantinya seperti lafadl جَا
أَخُو نَمِر
Ma’na tafsiri : Ustadz Luqman berpendapat bahwa di
dalam bait ini menjelaskan tentang hubungan hidup berumah tangga. Didalam
hubungan sebuah pernikahan/berumah tangga haruslah memperhatikan poin-poin di
bawah ini:
1. (فَارْفَعْ)
junjunglah sebuah kekompakan (بِضَمِّ)
diantara suami istri
2. (وَانْصِبَنْ
فَتْحًا) dan tegakkan keterbukaan diantara suami istri
3. (وَجُرْ)
tarik dan buanglah sebuah permasalahan yang menjadikan perpecahan (كَسْرٌ)
didalam berumah tangga
4. (كَذِكْرُاللهِ)
dan hendaklah selalu berdoa kepada Allah SWT
5. (وَجْزِمْ)
dan mantapkan, yaitu dengan berpendirian teguh (بِتَسْكِيْنِ)
serta istiqomah
ma’na tafsiran yang lain :
1. ( فَارْفَعْ)
angkatlah agama islam dengan sebuah persatuan (بِضَمِّ)
2. (وَانْصِبَنْ
فَتْحَا) bersungguh-sungguhlah dalam menjaga hafalan
3. (وَجُرْ
كَسْرٌ) dan perkara yang ditakuti adalah sebuah perpecahan
Rahasia Pembagian I’rob:
Seperti yang sudah kita ketahui bahwa i’rob terbagi menjadi
empat macam, yaitu rafa’, nashab,khafad, dan jazm.
Tapi tahukah kamu bahwa Perubahan yang terjadi pada i’rob itu
juga sama seperti perubahan yang terjadi pada seseorang. yaitu ada empat macam;
1. Rafa’, yaitu tingginya derajat, kemuliaan
dan kedudukan disisi Allah Ta’ala. Yang mendorong rafa’ adalah mengenal Allah;
melaksanakan ketaatan kepadaNYA serta bergaul dengan orang-orang mulia yaitu
para waliyulloh rodhiyallohu ‘anhum
2. Kebalikan dari
rafa’ adalah khafadh, yaitu kerendahan dan kehinaan. Yang mendorong
khafadh adalah kebodohan; terus menerus mengikuti gejolak hawa nafsu.
3. Nashab, yaitu ketegaran diri dalam
mengikuti arus perjalanan takdir . inilah maqam ridlo dan pasrah. Ini merupakan
maqam para ‘arif yang mencapai wushul.
4. Jazm, yaitu kemantapan dan keteguhan
hati untuk meniti perjalanan, memerangi hawa nafsu, dan menanggung
penderitaan dalam perjuangan menuju wushul, hingga mencapai kesempurn-aan
musyahadah,
لِلرَّفْعِ وَالنَّصْبِ وَجَرِّنَا
صَلَحْ
#
كَاعْرِفْ بِنَا فَإِنَّنَا نِلْنَا
اْلمِنَحْ
Dlomir naa tetap akan terus dibaca naa meskipun berada dalam
keadaan rofa’,nashob,dan jar, seperti lafadl كاعْرِفْ
بِنَا فَإِنَّنَا نِلْنَا اْلمِنَاح “ketahuilah, sesungguhnya kita telah
memperoleh anugerah yang banyak”
Ma’na tafsiri : Ustadz luqman berpendapat bahwa ma’na yang terkandung
didalam bait ini adalah menunjukkan sebuah perbuatan yang bersifat tetap dan
continue seperti dlomir (نَا)
jika kita sedang dalam keadaan yang tinggi/agung (رفع)
atau tengah-tengah (النَّصْبِ)
atau dibawah (جَرِّ)
janganlah berubah dari aktifitas kita sehari-hari seperti aktifitas sebelum
kita berada dibawah atau diatas.
Di dalam bait ini mengajarkan kita agar kita bisa menjadi
seperti dlomir na (نَا)
yaitu teguh dalam berpendirian meskipun banyak dimasuki oleh
pemikiran-pemikiran atau aliran-aliran baru.
وَفِي اخْتِيَارٍ لَايَجِئُ
اٌلمُتَّصِلْ
#
إِذَا تَأَتَّى اَنْ يَجِئَ
اْلمُتَّصِلْ
Dalam keadaan ikhtiyar (tidak kepepet) tidak boleh
mendatangkan dlomir munfasil, selagi masih diperbolehkan mendatangkan dlomir
muttashil
Ma’na tafsiri : Bait ini menjelaskan kita dianjurkan agar tidak minta
bantuan kepada selain Allah selama kita tidak kepepet dan masih bisa
mengerjakannya sendiri tanpa bantuan benda atau orang lain.
وَقَدِّمِ اْلأَخَصَّ فِي اتِّصَالِ
#
وَقَدِّ مَنْ مَا شِئْتَ فِي انْفِصَالِ
Dahulukanlah yang khusus dalam muttashil, dan dahulukanlah
yang anda sukai dalam keadaan munfashil.
Ma’na tafsiri : Dahulukanlah orang yang lebih khusus/ istimewa bagimu,
daripada orang-orang yang istimewa tapi tidak kamu ketahui. Dalam kata lain,
dahulukan kekasihmu daripada orang lain yang tidak kamu kenali.
وَلَا يَجُوْزُ اْلإِبْتِدَا
بِالنَّكِرَةِ
#
مَالَمْ تُفِدْ كَعِنْدَ زَيْدٍ
نَمِرَةِ
Tidak di perbolehkan membuat mubtada’ dengan memakai isim
yang nakiroh,selagi tidak memberi faedah, seperti pada lafad :
عِنْدَ زَيْدِ نَمِرَة
Ma’na tafsiri : Al mubtada’ diumpamakan sebagai seorang pimpinan yang
ma’rifat (mengetahui), dan wajib bagi dia menjelaskan perkara yang
menyenangkan,berilmu,dan punya kekuasaan, dan bisa dimintai pertolongan. Dan
tidak boleh mubtada’ (pemimpin) itu terbentuk dari isim yang nakiroh (ghoiru
ma’ruf/ bodoh).
وَأَخْبَرُوا بِاثْنَيْنِ اَوْ
بِأَكْثَرَ
#
عَنْ وَاحِدٍ كَهُمْ سَرَاةٌ شُعَرَا
Para ahli nahwu memperbolehkan satu mubtada’ mempunyai dua
khobar atau lebih.
Ma’na tafsiri : Seperti halnya yang sudah kita ketahui bahwa setiap mubtada’
hanya mempunyai satu khobar, tapi juga di perbolehkan mubtada’ itu mempunyai
lebih dari satu khobar seperti contoh : زَيْدٌ
قَائِمٌ ضَاحِكٌ
Nah….… المبتداء pada bait ini diumpamakan dengan seorang laki-laki/suami.
sedangkan خبر diumpamakan seoranng istri. Jadi di dalam bait
ini juga menjelaskan, bahwa pada umumnya laki-laki hanya punya satu orang
istri, tapi juga boleh mubtada’(suami) mempunyai khobar (istri) lebih dari satu.
لَا أَقْعُدُ اْلجُبْنَ عَنِ
اْلهَيْجَاءِ
#
وَلَوْ تَوَالَتْ زُمَرُ اْلأَعْدَاءِ
Aku tidak akan bertopang dagu meninggalkan perang karena
pengecut, sekalipun golongan musuh datang berbondong-bondong
Ma’na tafsiri : Bait ini juga bisa dibuat sebagai dalil larangan pergi
meninggalkan perang karena takut kepada musuh,meskipun barisan musuh lebih
banyak.
وَمَا يَلِي اْلمُضَافَ يَأْتِيِ
خَلَفَا
#
عَنْهُ فِي اْلإِعْرَابِ إِذَا مَا
حُذِفَ
Lafadz yang mengiringi mudhof dapat menggantikan kedudukan
mudhof dalam I’rob apabila mudhof di buang
Ma’na tafsiri : Jika mudlof terbuang maka
tempatkanlah mudlof ilaih pada tempatnya mudlof. Bait ini menggambarkan
hubungan antara kyai dan santri. Jika kamu seorang santri, maka jadilah kamu
seperti seorang santri. Jangan sok-sokan berlagak layaknya kyai. Tapi jika kamu
telah menjadi seorang kyai pada waktunya, maka wajib bagimu melakukan trtadisi
atau perbuatan yang dilakukan oleh kyaimu dulu.
فَأَلِّفُ التَّأْنِيْسِ مُطْلَقًا
مَنَعْ
#
صَرْفَ اَّلذِيْ حَوَاهُ كَيْفَمَا
وَقَعْ
Alif ta’nits secara muthlaq dapat mencegah tanwin dari isim
yang mengandunginya, manakala memasukinya.
Ma’na tafsiri : (أَلِّفُ)
cinta seorang laki-laki kepada perempuan (التَّأْنِيْسِ)
itu tercegah dengan mutlaq (مُطْلَقَا
مَنَعْ) karena CINTA tersebut bisa menghalangi
cita-cita.
sumber : http://cahayailmucia.blogspot.co.id/2012/05/bait-bait-magic-alfiyyah.html
sumber : http://cahayailmucia.blogspot.co.id/2012/05/bait-bait-magic-alfiyyah.html
Ijin copy ust. untuk nambah wawasan...
BalasHapus