Terdapat perbedaan dikalangan ulama nahwu tentang siapa
pencetus ilmu nahwu. Diantara pendapat-pendapat itu adalah bahwa pencetus ilmu
nahwu adalah Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib, Imam Abul Aswad Ad Duali, Abdurrahman
bin Humuz Al A’raj, dan ada juga yang berpendapat Nashr bin ‘Ashim Al Laitsiy.
Manakah yang paling kuat ? menurut penulis adalah Ali bin
Abi Thalib yang kemudian diteruskan oleh Imam Abul Aswad. Ide itu
tercetus karena adanya beberapa orang arab yang salah dalam mengucapkan bahasanya
sendiri, dan juga kekeliruan mereka dalam membaca Al- Qur’an dan Hadits.
Terdapat suatu kisah yang dinukil dari Abul Aswad,
bahwasanya ketika beliau sedang berjalan-jalan dengan anak perempuannya. Pada saat
itu anak beliau menengadahkan pandangannya ke langit, merenungkankan indahnya
bintang-bintang yang gemerlapan, sembari berkata :
مَا أَحْسَنُ السَّمَاءِ
“Apakah yang
paling indah di langit”
Dengan mendhommah huruf “nun” dan mengkasrohkan “hamzah”. Yang
berarti sebuah kalimat Tanya.
Kemudian sang ayahpun menjawab :
نُجُوْمُهَا يَا بُنَيَّةُ
“Bintang-bintangnya,
wahai anakku”
Namun sang anak protes dengan berujar :
إِنَّمَا أَرَدْتُ التَّعَجُّبَ
“Sesungguhnya aku
ingin mengungkapkan kekaguman”
Sang ayahpun menjawab,
kalo begitu seharusnya kamu katakan :
مَا أَحْسَنَ السَّمَاءَ
“betapa indahnya
langit”
Dan Bukan : مَا أَحْسَنُ السَّمَاءِ
Dikisahkan pula dari
Abul Aswad , bahwa ketika beliau melewati seseorang yang sedang membaca
Al-Qur’an, terdengar sang qori’ sedang membaca surat At-Taubah ayat 3, dengan
bacaan :
أَنَّ اللهَ بَرِىءٌ مِنَ اْلمُشْرِكِيْنَ وَرَسُوْلِهِ
Dengan mengkasrahkan
huruf lam pada kata rasuulihi yang seharusnya dhommah. Menjadikan artinya
sangat jauh berbeda, yaitu : “Sesungguhnya Allah berlepas diri dari orang-orang
musyrik dan Rosul-Nya”. jadilah arti Al-Qur’an menjadi rusak dan menyesatkan.
Seharusnya kalimat
tersebut bermakna: “ sesungguhnya Allah dan Rosul-Nya berlepas diri dari
orang-orang musyrik”
Karena mendengar perkataan
ini maka Abul Aswad Ad Duali menjadi ketakutan, beliau takut keindahan bahasa
Arab menjadi rusak, padahal hal itu terjadi di periode awal islam.
Hal inipun dirasakan pula oleh Khalifah Ali bin Abi Thalib, sehingga untuk memperbaiki keadaan ini maka
beliau mulai menulis tentang pembagian kata, bab inna dan saudaranya, bentuk
idhofah, kalimat ta’ajjub, kata Tanya, dll.
Kemudian Sahabat Ali bin Abi
Thalib berkata kepada Abul Aswad :
اُنْحُ هذَا النَّحْوَ !!
“ikutilah jalan ini !!! “
Dari kalimat inilah
maka kaidah bahasa arab disebut dengan ilmu nahwu.
Kemudian Abul Aswad
melaksanakan tugasnya dengan menambahi kaidah-kaidah tersebut dengan bab-bab lainnya sampai terkumpul banyak.
Kemudian dari Abul
Aswad inilah muncul ulama-ulama lainnya, seperti Abu Amru bin Alaai, kemudian Al
Kholil Al Farahidi Al Bashri (peletak ilmu ‘arudh dan mu’jam pertama), sampai
ke Imam Sibawaih dan Imam Kisai (pakar ilmu nahwu dan menjadi rujukan utama).
Setelah tersusunnya
ilmu nahwu dan banyak ulama yang yang mempertajam pembahasannya, maka hal ini
mengakibatkan timbulnya aliran-aliran dalam ilmu nahwu, yang disebabkan
pertentangan mereka dalam menentukan posisi (mahal) kata dalam suatu kalimat. Beda
persepsi ini tidak luput dari pengaruh daerah para ulama tersebut menetap. Diantara aliran-aliran ilmu nahwu tersebut
adalah : aliran Bashrah, Kufah, Baghdad, Mesir, dan Andalusia. Namun yang
terkenal hanyalah dua yaitu Bashrah dan Kufah.
0 komentar:
Posting Komentar